Skandal Proyek Rp 1,6 Miliar: Oknum Anggota DPRA Diduga Bermain, Hasil Proyek Mengecewakan

Aceh Utara, Baratapost.com – Proyek normalisasi Sungai Alue Masyik – Alue Gunto di Kecamatan Tanah Luas, Aceh Utara, kembali menyorot lemahnya tata kelola anggaran dan pengawasan proyek di Aceh. Dengan anggaran Rp 1,6 miliar yang bersumber dari APBA 2024, hasil pengerjaan menunjukkan indikasi bahwa proyek ini sekadar formalitas tanpa dampak nyata.

Proyek yang dimenangkan oleh CV. Royal Teknindo, sebuah perusahaan berbasis di Banda Aceh, seharusnya menjadi langkah strategis untuk mengatasi masalah banjir yang sudah lama menghantui masyarakat setempat. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hasil yang jauh dari harapan. Alur sungai tetap dangkal, hanya bantalan sungai yang terlihat sedikit rapi, tanpa perubahan signifikan pada kedalaman atau kelancaran aliran air.

Pengawas proyek, Makmur, mengungkapkan bahwa volume pengerjaan tidak diatur dalam kontrak. Pernyataan ini menjadi ironi dalam proyek bernilai miliaran rupiah. Bagaimana mungkin proyek besar berjalan tanpa target volume yang jelas?

Ketidakjelasan ini membuka ruang lebar untuk potensi penyimpangan anggaran. Tanpa target yang konkret, hasil pengerjaan sulit diukur, sementara anggaran besar sudah tersedot. Ini jelas mencerminkan lemahnya perencanaan, pengawasan, dan niat pemerintah untuk memastikan dana publik benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat.

Bangunan Ilegal di Bantaran Sungai

Keberadaan bangunan ilegal yang tidak ditertibkan di sepanjang bantaran sungai semakin memperparah situasi. Alasan teknis bahwa alat berat tidak bisa bekerja di area tersebut hanya memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah dalam menegakkan aturan. Jika jalur inspeksi tidak dibersihkan, bagaimana proyek ini bisa disebut berhasil?

Masyarakat berhak mempertanyakan: apakah ini bentuk pembiaran atau indikasi pemerintah tak punya daya? Ketidakmampuan ini bukan hanya melukai kepercayaan publik, tetapi juga membuang potensi manfaat dari anggaran yang sudah digelontorkan.

Pengerjaan sepanjang 2,6 kilometer dengan hasil yang minim menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas pengelolaan proyek. Dengan HPS awal sebesar Rp 1,8 miliar, selisih Rp 200 juta dari anggaran realisasi seharusnya bisa dioptimalkan untuk menghasilkan perubahan yang lebih signifikan. Namun, alih-alih menjadi solusi, proyek ini justru terkesan asal jadi.

Masyarakat Aceh Utara tidak hanya menuntut audit independen terhadap proyek ini, tetapi juga evaluasi mendalam terhadap mekanisme pengawasan. Tanpa tindakan tegas, proyek seperti ini akan terus menjadi bukti nyata dari pemborosan anggaran dan lemahnya tata kelola infrastruktur di Aceh.

Sebagai salah satu aspirasi dewan, proyek ini menunjukkan betapa lemahnya akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara. Meski aspirasi berasal dari anggota DPRA, tanggung jawab tetap ada pada pemerintah sebagai pelaksana. Apakah DPRA akan bersikap diam atau mengambil langkah konkret untuk mengatasi dugaan penyimpangan ini?

Proyek ini adalah bukti nyata bahwa pengawasan terhadap anggaran publik membutuhkan reformasi mendalam. Masyarakat Aceh Utara tidak butuh proyek simbolis; mereka butuh solusi nyata untuk masalah yang sudah lama menghantui kehidupan mereka. Apakah ini hanya satu dari banyak proyek lain yang akan terus menjadi potret kegagalan tata kelola? Atau momentum bagi pemerintah dan DPRA untuk menunjukkan integritas mereka?

Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah dana publik benar-benar digunakan untuk rakyat atau hanya untuk kepentingan pribadi segelintir pihak.

Oknum anggota DPRA yang diduga pemilik Pokir (Pokok Pikiran Rakyat), Armiyadi SP, dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang dikonfirmasi media ini Sabtu (30/11) malam membenarkan proyek tersebut berasal dari Pokirnya.

Dalam keterangannya kepada pers, Armiyadi juga mengaku pekerjaan tersebut dikerjakan sesuai RAB. Dalam RAB, kata Armiyadi, tidak disebutkan kedalaman, sehingga dia bisa mengerjakan sesuai kebutuhan.

Sebelum menutup sepihak wawancara by phone, Armiyadi juga mempersoalkan apa urusan wartawan mempertanyakan proyek yang berasal dari Pokirnya yang memakai bendera orang lain. Armiyadi juga menanyakan apakah wartawan punya sertifikat keahlian di bidang proyek sehingga mempersoalkan paket proyeknya.

Sumber lain di Aceh Utara mengungkapkan, oknum anggota DPRA yang satu ini diduga kerap main proyek. Paket proyek oknum ini tersebar di sejumlah daerah terutama di Aceh Utara yang berasal dari Pokirnya, namun hampir semua paket oknum ini dikerjakan asal jadi dan menggunakan bendera orang lain untuk mengelabui masyarakat. Sebagaimana paket normalisasi Sungai Alue Masyik – Alue Gunto di Kecamatan Tanah Luas dengan anggaran Rp 1,6 miliar, oknum ini menyewa badan hukum CV. Royal Teknindo – Banda Aceh.

Ini merupakan modus oknum anggota DPRA itu dalam mengelabui masyarakat dan aparat penegak hukum, kata salah seorang kepala desa di Tanah Luas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar