Oleh: M. Nazar
Sosok pengajar adalah konsumsi yang mudah untuk dijual dalam situasi apa saja, dalam situasi konflik ketika instansi lain kolep, para pengambil kebijakan masih bisa mengandalkan pendidikan, sementara ketika kondisi kondusif pendidik dijadikan bermacam-macam slogan, yaitu; Soko Guru, pahlawan tanpa tanda jasa dan lain-lain. Kita lupa bahwa sang pengajar itu juga manusia yang tidak maksum. Pengajar adalah sosok yang paling lama menurunkan ilmunya kepada anak didik, sebagai contoh; bila seorang diangkat menjadi pendidik pada usia 30 tahun itu artinya selama 30 tahun dia berinteraksi dengan anak didiknya, pertanyaan selanjutnya berapa lulusan yang telah dia lalui.
Adalah dua profesor dari Hiroshima, Yuji Uesugi dan Yukiko Hirakawa, yang mampu menunjukkan kepada anak-anak di Sekolah Sukma Bangsa bahwa kebanggaan terbesar dalam hidup mereka adalah menjadi pendidik. Ketika ditanya mengapa bangga, mereka hanya menyebut satu alasan, yaitu meskipun mereka saat ini telah menjadi pendidik, mereka tetap memiliki hubungan dengan guru-guru mereka ketika di SD hingga perguruan tinggi. Pendidik bagi mereka adalah seseorang yang selalu bersama mereka dalam sedih dan tawa ataupun suka dan duka.
Prof Yuji Uesugi bercerita bahwa di Jepang, pertemuan antara mhs dan dosen atau mentornya selalu dilakukan secara rutin, terus-menerus, dan berkesinambungan. Meskipun mereka telah menjadi dosen, Prof Yuji kerap berhubungan dengan gurunya ketika di SD yang kini usianya telah 90 tahun. Adalah penting di dalam tradisi orang Jepang untuk selalu menghargai pendidik dengan cara selalu bertemu dan menjalin komunikasi setiap saat. Hampir tak terbayangkan, seorang profesor, masih suka bermain bersama dengan guru-gurunya ketika masih di SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Dia memperlihatkan agenda, foto-foto, rencana pertemuan, dan hasil kerja mereka setiap tahun.
Dalam kesempatan dialog, Prof Yukiko fasih mengutip ungkapan Konfusius tentang pentingnya pendidikan. “If your plan is for one year, plant rice; if your plan is for 10 years, plant trees; if your plan is for 100 years, educates children.” Yukiko meyakini benar ungkapan tadi, bahwa jika seseorang memiliki rencana dalam satu tahun, tanamlah padi. Jika memiliki rencana dalam 10 tahun, tanamlah pohon. Tetapi jika Anda memiliki rencana untuk 100 tahun ke depan, didiklah anak-anak. Mendidik dalam pandangan Yukiko berarti menjadi dosen. Menjadi dosen adalah keabadian karena jasa seorang pendidik pasti akan terus dikenang.
Prof Yuji dalam kesempatan dialog bercerita tentang bagaimana ketika Tuhan menciptakan pendidik, protes lebih hebat datang dari malaikat melebihi protes malaikat ketika Adam dan Hawa diciptakan. “God doing a lot of fiddling around with this one,” begitu pikir malaikat. Sebagai tanda setuju, malaikat memberi masukan kepada Tuhan agar menciptakan pendidik dengan enam pasang tangan. Tapi Tuhan menjawab, bukan enam pasang tangan yang ia ingin ciptakan, tapi tiga pasang mata yang sangat dibutuhkan seorang pendidik. Dari tiga pasang mata, “One pair that can see a student for what he is and not what society has labeled him. Another pair must be in the back of her head, to see what she shouldn’t, but what she has to know. Of course, the ones here in front can look at a child when he goofs up and reflect.”
Dalam dialog selanjutnya, tutur Prof Yuji; saking penasarannya malaikat bertanya lagi kepada Tuhan. “Can she think?” Tuhan menjawab, “Not only can she think, but she can reason and compromise.” Akhirnya sebelum pendidik itu jadi diciptakan Tuhan, malaikat memegang-megang makhluk yang satu ini sambil mengejek, “There’s a leak.” “I told you that you were putting too much into this model. You can’t imagine the stress factor,” lanjut malaikat seperti sok tahu. Tetapi Tuhan bilang, itu bukan leak, melainkan air mata. Malaikat pun bertanya lagi, untuk apa air mata itu? Dengan penuh bijak, Tuhan pun bilang, “It’s for joy, sadness, disappointment, compassion, pain, loneliness, and pride.”;
Bagi Prof Yuji dan Prof Yukiko, memiliki banyak penglihatan dan air mata adalah modal terbesar bagi seorang pendidik. Meskipun faktanya guru hanya memiliki satu pasang mata, bagi seorang pendidik, mata dapat berarti banyak karena hati dan pikirannya pun dapat bertindak seperti mata. Karena itu, menjadi doen yang baik dan selalu dikenang para mahasiswanya adalah bagaimana seorang pendidik mampu menjadikan hati dan pikirannya seperti mata, melihat dengan seksama ragam talenta, ragam sikap, dan perilaku yang dimiliki mahasiswa mahasiswanya
Melihat dengan hati pasti akan lebih tajam daripada melihat dengan mata sebenarnya. Demikian juga melihat dengan akal pikiran, pasti lebih jernih untuk suatu ketika. Pada akhirnya, dengan ketiga mata yang telah dianugerahkan Tuhan dan dimanfaatkan dengan baik oleh para pendidik, keyakinan adalah modal utamanya. Keyakinan bagi seorang pendidik adalah kesabaran dalam menghadapi para smahasiswanya. Seperti kata Michael Carr, “All kids are gifted; some just open their packages earlier than others.” Terakhir, kata Yuji dan Yukiko, siapkanlah air mata untuk menumpahkan rasa bangga, sedih, dan kekaguman. Itulah makna keabadian sang pendidik. (*)
Penulis adalah Dosen IAIN Malikussaleh-Lhokseumawe